Membentuk karakter dan moral siswa Hingga arah lebih baik bisa dilakukan Di banyak cara. Indonesia tak pernah kehabisan cerita soal pembelajaran karakter. Termasuk seperti yang dilakukan Dari Bapak Belajar Ki Hajar Dewantara. Dia sukses membentuk karakter siswa tanpa cara-cara militeristik.
Bagaimana caranya?
Gagasan Ki Hajar Dewantara Yang Berhubungan Di pembentukan karakter siswa terlihat Ke pendirian Taman Siswa tanggal 22 Juli 1922. Pembentukan Taman Siswa didasari Dari rasa keprihatinan Ki Hajar Dewantara atas sistem Belajar masa kolonial.
Sebelum 1901 pemerintah kolonial Belanda melakukan politik balas budi yang salah satu poinnya adalah perluasan akses Belajar. Mengutip Kajian Fakhriansyah berjudul “Akses Belajar Untuk Pribumi Ke Periode Etis” (2019), pemerintah kolonial membuka beragam sekolah Di sekolah rendah hingga perguruan tinggi.
Sayang, Keputusan pemerintah hanya omong kosong.
Praktiknya, tak semua Komunitas pribumi bisa bersekolah. Hanya pribumi Di kelompok bangsawan saja yang bisa bersekolah. Sekalipun bisa bersekolah, ruang geraknya dibatasi. Atas dasar ini, Ki Hajar Dewantara membentuk Taman Siswa supaya seluruh anak-anak pribumi bisa bersekolah.
Akademisi Jepang Kenji Tsuchiya yang lama meneliti Taman Siswa menyebut pendirian Taman Siswa bukan hanya sebagai wadah Untuk anak pribumi, tetapi juga sarana pembentukan karakter Mutakhir berasaskan nasionalisme.
Sebab Pada ini anak-anak terpapar karakter kolonial yang tak bisa dicapai Untuk mencapai kemerdekaan. Karakter kolonial yang dimaksud adalah menjadikan Belajar hanya sebagai mesin penghasil ijazah yang memungkinkan anak-anak menjadi buruh dan Akansegera memperbesar kesenjangan sosial.
“Belajar yang Pada ini diterima orang Indonesia Di Barat hanya menguntungkan kaum sana (Belanda). […] Belajar tidak membantu Menyusun badan dan pikiran, tapi semata-mata Memberi surat diploma yang memungkinkan mereka menjadi buruh,” ungkap Kenji Tsuchiya Di Sistem Pemerintahan & Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa (1992).
Ki Hajar Dewantara Mengadakan Taman Siswa Di menjunjung tinggi Kearifan Lokal Global bangsa. Materi yang diajarkan meliputi bahasa, berhitung, sejarah, Aktivitasfisik, dan yang paling penting adalah Seni Kekayaan Budaya. Bentuk Seni Kekayaan Budaya yang diajarkan mencakup kerajinan tangan, menari, dan menembang atau bernyanyi.
Di memoar Ki Hadjar Dewantara (1981) disebutkan, bahwa Seni Kekayaan Budaya Disorot penting Lantaran mampu memperhalus moral anak-anak. Lewat Seni Kekayaan Budaya, anak-anak diajarkan nilai-nilai seperti kesabaran, kedisiplinan, sopan santun, serta kebaikan kepada sesama.
Setiap minggu, Ke salah satu hari pembelajaran, anak-anak dikumpulkan Ke pendopo Untuk belajar menari. Para guru tari biasanya berasal Di Keraton Yogyakarta. Ke Samping Itu, siswa juga diajarkan membuat kerajinan tangan dan menembang. Ini semua dilakukan Di memasukkan unsur nasihat-nasihat yang mudah diingat siswa.
Di sini, Belajar karakter bisa diserap siswa. Pendekatan ini sangat berbeda Di sekolah-sekolah Belanda Di itu yang menjadikan Belajar sekadar mesin pencetak ijazah.
Ke akhirnya, Taman Siswa terbukti mampu membentuk karakter anak dan menjadi salah satu sekolah populer yang menghasilkan alumni-alumni hebat. Di awalnya Ke Yogyakarta, Taman Siswa berkembang Hingga berbagai Lokasi hingga Jakarta. Lalu, sekolah-sekolah lain menjadikannya sebagai inspirasi.
Sayangnya, pendekatan pembentukan karakter ala Taman Siswa mulai luntur seiring perubahan zaman. Titik baliknya terjadi Ke masa pendudukan Jepang Ke Indonesia tahun 1942.
Sebelum Di itu, sistem Belajar Indonesia mulai mengenal rutinitas seperti upacara bendera setiap Senin pagi, penggunaan seragam sekolah, hingga baris-berbaris, yang semuanya khas militer alias jauh Di nilai-nilai asli Taman Siswa. Sayangnya, kebiasaan ini masih bertahan hingga sekarang.
Artikel ini disadur –> Cnbcindonesia Indonesia: Bapak Belajar RI Sukses Bentuk Karakter Siswa Tanpa Barak Militer