Thomas Stamford Raffles dibuat bingung ketika membaca laporan-laporan Bersama para bawahannya Ke Jawa dan luar Jawa Dari Mei 1815. Satu sama lain tak janjian, tetapi semuanya berkata sama, yakni mendengar suara kencang bak tembakan meriam yang tak diketahui Bersama mana asalnya.
Sebagai pemimpin militer dan penguasa tunggal Hindia Belanda, Raffles menyikapi laporan tersebut Bersama serius. Dia takut ada invasi Negeri Foreign. Maka, dia langsung menyiagakan satu detasemen tentara Di berbagai Daerah. Lalu, kapal-kapal Konflik Bersenjata juga disiagakan Untuk Kebugaran siap tempur.
Akan Tetapi, ketakutan tersebut tak terbukti. Tak ada tanda-tanda serangan Negeri Foreign. Raffles pun makin bingung. Bersama mana asal suara bak meriam tersebut? Dia akhirnya menugaskan para pegawainya Ke seluruh Nusantara melakukan penyelidikan.
Di penyelidikan berlangsung, dentuman tak mereda dan Malahan makin keras. Raffles Untuk History of Java (1816) menyebut, “suaranya seperti ledakan bom Ke Didekat telinga.” Lebih menyeramkan lagi, kemunculan suara dibarengi hilangnya sinar matahari Ke bumi.
Barulah enam minggu Lalu, ketika suara dentuman sudah hilang dan sinar matahari kembali terlihat, pendiri Singapura itu Menyambut jawaban. Ternyata suara bak meriam yang terdengar Ke seluruh Indonesia itu berasal Bersama letusan gunung api yang tak pernah diduga.
Bukan Gunung Krakatau atau Gunung Toba, tetapi Gunung Tambora yang berlokasi 1.000 km Bersama lokasi Raffles berdiri Ke Buitenzorg, meledak dahsyat Ke 10 April 1815, tepat hari ini 210 tahun lalu.
Bak Kiamat, Mayat Bergelimpangan
Ketika Raffles linglung, warga Ke Didekat Gunung Tambora sudah keringat dingin. Sesudah ledakan dahsyat, Di berminggu-minggu, tanah Bima dihujani batu dan abu. Bersama pagi hingga pagi lagi, tiada henti.
Berdasarkan kesaksian satu-satunya penyintas, yakni Raja Sanggar, Di proses berlangsung, tak ada satupun warga yang Kehidupan Damai. Nyawanya Ke ujung tanduk.
Hujan abu dan batu membuat sumber air dan Konsumsi hilang. Tanah longsor. Tempattinggal-Tempattinggal warga pun hancur. Sulit mencari tempat berlindung. Belum lagi, mereka juga harus Berusaha Mengatasi angin badai bersuhu tinggi yang membuat segalanya musnah. Banyak orang tewas.
Sambil, nasib warga Ke pesisir jauh lebih apes. Mereka juga harus Berusaha Mengatasi gulungan Gelombang Laut Tinggi setinggi 3 meter dampak getaran gunung. Sebab, seluruh warga Ke pesisir terpaksa menemui ajal lebih cepat. Raja Sanggar sendiri pun Merasakan kemalangan. Putri semata wayangnya meninggal akibat diare.
“Walaupun Raja sehat, anaknya tak selamat Sebab Merasakan diare hebat akibat terpaksa minum air beracun,” ungkap Gillen D’Arcy Wood Untuk Tambora: The Eruption That Changed the World (2004).
Kala itu, diare menjadi ancaman pasca-bencana. Banyak korban selamat dan hewan hidup menjadi diare akibat meminum air Bersama sumur yang tercemar hujan abu.
Akibat ketiadaan informasi, letusan Gunung Tambora 1815 tak diketahui orang. Mereka yang Ke luar zona bencana hanya melihat sinar matahari hilang dan mendengar suara bak tembakan meriam, seperti yang Raffles alami.
Sampai akhirnya, publik mengetahui ada bencana usai anak buah Raffles, Owen Philips, tiba Ke Tambora enam minggu Lalu sembari membawa Pengiriman ribuan kilogram beras.
Sayang, Pemberian datang terlambat. Ketika tiba, tak ada satupun makhluk hidup bernyawa. Semua tewas. Mulai Bersama manusia, kuda, hingga sapi.
“Mayat-mayat bergelimpangan Ke jalanan. Tak terurus,” tutur Raffles.
Sejarah mencatat, letusan Gunung Tambora menewaskan belasan hingga puluhan ribu penduduk Ke Di Sumbawa. Tak ada angka pasti. Akan Tetapi, diprediksi jauh lebih besar jika memperhitungkan korban jiwa imbas hujan abu yang turun Ke berbagai Daerah.
Sebab, para ahli Ke era modern Menginformasikan hujan abu Tambora ternyata terjadi Ke seluruh dunia. Mengakibatkan petaka cuaca hebat Ke dunia yang Lalu dikenal sebagai The Year Without Summer atau Hari-hari Tanpa Musim Panas.
Artikel ini disadur –> Cnbcindonesia Indonesia: Bak Kiamat, Mayat Bergelimpangan-Matahari Hilang Dihantam Petaka