Setiap Hari Buruh, nama Marsinah selalu menggema. Sosoknya bukan sekadar simbol perjuangan, tapi cermin keteguhan seorang buruh wanita yang tak gentar menuntut keadilan. Bagaimana tidak dia sampai dibunuh Dari orang hanya Sebab menuntut kenaikan gaji layak.
Bagaimana ceritanya?
Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS) Ke Porong, Jawa Timur. Dia aktif mengadvokasi Kesejaganan rekan-rekan sesama buruh. Kala itu, pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah menetapkan UMP sebesar Rp2.250. Bersama ketetapan, Pemprov Mengeluarkan surat edaran agar para pengusaha menaikkan upah buruh.
Akan Tetapi, PT CPS enggan melakukan hal serupa dan mempertahankan buruh Bersama gaji lama, yakni Rp1.700 per bulan. PT CPS ingin kenaikan hanya menyasar tunjangan, bukan gaji pokok.
Jelas, Marsinah Menentang hal tersebut. Bagi Marsinah, kenaikan tunjangan merugikan para buruh. Sebab, jika sakit atau ada keperluan lain, maka yang bersangkutan tak dapat tunjangan. Apalagi para buruh perempuan yang terkadang tak bisa masuk kerja akibat, hamil, menstruasi, dan sebagainya.
Atas dasar ini, Marsinah Merangsang rekan-rekan melakukan pemogokan massal. Singkat cerita, pemogokan massal pun terjadi.
Ketika pemogokan, beberapa buruh dipanggil Di Kodim. Ke masa Orde Terbaru, militer sering menjadi mediator Sebagai menyelesaikan permasalahan Di buruh dan pengusaha pabrik.
Bersama pemanggilan tersebut emosi Marsinah memuncak ketika buruh yang dipanggil dipaksa resign Bersama pabrik. Ke titik inilah, Marsinah ingin datang Di Kodim. Akan Tetapi nasib buruk malah menimpa Marsinah
Ke 8 Mei 1993, dua hari usai dipanggil Di Kodim, Marsinah ditemukan tubuh Ke suatu gubuk. Hasil visum menyebut dia Menyambut luka-luka Ke Pada bawah tubuh. Banyak tulangnya patah. Organ-organ dalamnya rusak. Menurut Regu autopsi, ini tanda Tindak Kekerasan.
Meski penyebab kematian sudah terkuak, kematian Marsinah Ke 24 tahun menjadi tanda tanya sampai sekarang dan tak diketahui siapa pembunuhnya.
Apa yang terjadi Ke Marsinah merupakan satu Bersama sekian banyak Peristiwa Pidana Hukum hasil dinamika panas Di buruh dan pengusaha soal pengupahan setiap sepanjang kekuasaan Soeharto.
Sebagai catatan, Di Soeharto berkuasa, upah minimum buruh ditentukan berdasarkan PP No 8 tahun 1981. Berbeda Bersama sekarang, Ke era Orde Terbaru tak ada sistem pengupahan berdasarkan regional. Upah ditentukan Dari pusat Sebagai semua Lokasi.
Jurnalis senior Willy Pramudya Untuk bukunya Cak Munir: Engkau Tidak Pernah Pergi (2004) menyebut, lewat aturan tersebut buruh mati Untuk Kesenjangan Ekonomi dan ketergantungan.
Sebab, Aturan upah Orde Terbaru tidak mengakomodir kelompok lemah. Samping Itu, para buruh juga tidak diajak diskusi, Supaya keputusan upah minimum murni keputusan pemerintah. Hal ini bisa terjadi Sebab Pemimpin Negara Soeharto ingin mempertahankan Penanaman Modal Untuk Negeri. Jika upah buruh dinaikkan, maka investor bisa kabur. Artinya, pemerintah ingin mengutamakan kalangan pengusaha.
Politisi Amien Rais Untuk Suara Amien Rais, Suara Rakyat (1998) menyebut, ketidakadilan tersebut lantas membuat para pengusaha atau majikan semena-mena. Mereka Dari Sebab Itu bebas menggaji buruh. Atau Malahan melanggar Syarat upah minimum.
Pengusaha juga tak takut sebab tak ada Pembatasan berat menanti jika melanggar aturan upah minimum. Tak hanya itu, para pengusaha juga memandang hubungan Bersama buruh hanya sebatas kontraktual. Artinya, jika buruh tidak mau ikut aturan, maka silakan keluar sebab masih banyak buruh lain yang mau kerja.
Artikel ini disadur –> Cnbcindonesia Indonesia: Buruh Perempuan Tewas-Organ Untuk Rusak, Mayatnya Tergeletak Ke Gubuk