– Elite kekuasaan Indonesia masa kini seringkali tidak sadar bahwa kekuasaan ada batasnya. Jika waktu berkuasa sudah habis, maka sepatutnya Kehidupan Damai menikmati masa pensiun.
Ratusan tahun lalu para Raja Jawa sudah Memberi teladan baik, bagaimana kekuasaan tak perlu dipertahankan berlebih. Salah satunya adalah kisah Raja Jawa Untuk Kadipaten Mangkunegaran, Solo, yakni Mangkunegara VI yang tak ingin ngotot mempertahankan kekuasaan, menikmati pensiun sebagai raja dan menjauhi urusan politik kerajaan.
Bagaimana kisahnya?
Sebagai wawasan, pria bernama asli Suyitno ini naik takhta Di 1896. Dia mewarisi kekacauan ekonomi yang terjadi Di era raja-raja Sebelumnya. Malahan, Kadipaten Mangkunegaran nyaris bangkrut akibat kegagalan pengelolaan.
Berbagai persoalan ini, membuat Mangkunegara VI melakukan reformasi. Sejarawan Wasino Untuk Kapitalisme Bumiputra (2008) menceritakan, dia menolak hidup mewah, melakukan penghematan hingga sukses menggenjot Usaha gula. Dampaknya, kas kerajaan bertambah, Agar rakyat sejahtera.
Atas dasar ini, Mangkunegara VI sangat dicintai rakyat. Meski Di sisi lain, tak sedikit para bangsawan yang membencinya. Sebab bangsawan tidak bisa lagi hidup mewah dan boros.
Di Di himpitan pro-kontra itu, posisi Mangkunegara VI Lebih terdesak usai ada petisi Untuk keturunan Mangkunegara V (bertakhta, 1881-1886) Yang Berhubungan Di orang yang cocok meneruskan kekuasaan.
Perlu diketahui, Mangkunegara VI bukan anak Mangkunegara V, melainkan hanya saudara. Atas dasar ini, para keturunan Mangkunegara V ingin Raden Mas Suryosuparto menjadi raja Sebab Dikatakan keturunan langsung Mangkunegara V. Sambil, Di Di bersamaan, Mangkunegara VI juga ingin anaknya, Suyono, meneruskan kekuasaan.
Di Di friksi politik demikian, Mangkunegara VI akhirnya mengalah sebab tak perlu mempertahankan kekuasaan Bagi anak secara berlebihan. Dia memutuskan Memutuskan langkah Di luar Kebiasaan: berhenti Di Di jalan Sesudah 13 tahun berkuasa. Keputusan ini menjadikannya sebagai raja pertama yang mengakhiri takhta bukan Sebab meninggal.
“Mangkunegara VI akhirnya mengajukan surat pengunduran diri Hingga pemerintah kolonial Di tahun 1912. Kepastian balasan surat ini Mutakhir datang Di tahun 1914 dan akhirnya dikabulkan Di 22 Oktober 1916,” tulis Regu penulis Bacaan biografi Mangkunegara VI: Sang Reformis (2021).
Sesudah resmi lengser, gelar Mangkunegara VI pun tak lagi dipakai. Publik lantas menyebutnya sebagai Suyitno. Kekuasaan lalu diteruskan Dari Suryosuparto yang diangkat sebagai Mangkunegara VII (bertakhta, 1916-1944).
Usai tak berkuasa, Suyitno bisa saja tinggal Di keraton. Tetapi, dia memilih Sebagai pindah Hingga Surabaya. Dia keluar Untuk keraton dan menjauhi hiruk-pikuk politik kerajaan. Singkatnya, dia tak mau cawe-cawe atau ikut campur lagi apapun yang terjadi Di bekas tempat dia berkuasa.
Menurut Regu penulis Mangkunegara VI: Sang Reformis (2021), keputusan pindah Hingga Surabaya Sebagai menghindari konflik kekuasaan Di Praja Mangkunegaran.
“Friksi yang sudah terlanjur muncul Untuk suksesi sudah cukup membuat hubungan keturunan Mangkunegara V dan Mangkunegara VI menjadi buruk. […] Suyitno tak ingin Dikatakan menjadi bayang-bayang Sebagai sang raja Mutakhir,” ungkap Regu penulis.
Ketika keluar Untuk Solo, Suyitno diantar Dari warga yang mencintainya. Di Surabaya, dia lantas Kehidupan Damai Di Rumah yang sudah dibeli beberapa tahun Sebelumnya. Di Di Itu, Raja Jawa ini juga berdagang Sebagai mencukupi keluarga.
Suyitno berada Di Surabaya Di 12 tahun Sebelumnya akhirnya wafat Di 1928 Sebab sakit. Ketika wafat, jenazahnya dibawa Hingga Solo Sebagai dikuburkan Di Keraton Surakarta.
Meski sudah tiada 96 tahun lalu, rentang waktu tersebut tak terlampau jauh, Agar seharusnya masih membekas Di benak pikiran orang, khususnya para elite kekuasaan Indonesia.
Artikel ini disadur –> Cnbcindonesia Indonesia: Cerita Raja Jawa Pensiun, Pilih Kehidupan Damai Tak Urus Politik Kerajaan