– Pemerintah Amerika Serikat (AS) resmi Mengintroduksi kesepakatan dagang Bersama Indonesia yang mencakup Aturan tarif resiprokal antar kedua Negeri.
AS menyetujui penurunan tarif Pembelian Barang Bersama Luar Negeri Untuk produk asal Indonesia menjadi 19% Bersama Sebelumnya 32%. Salah satu kompromi Bersama penurunan ini adalah pengiriman data pribadi warga Indonesia Ke AS.
“Indonesia berkomitmen Untuk mengatasi hambatan yang berdampak Ke perdagangan, jasa dan Penanaman Modal digital. Indonesia Berencana Memberi kepastian Yang Terkait Bersama kemampuan Untuk mentransfer data pribadi keluar Bersama wilayahnya Ke Amerika Serikat,” jelas pernyataan tersebut, dikutip Kamis (24/7/2025).
Praktik nego-nego tukar guling yang melibatkan kepentingan strategis ternyata bukan hal Terbaru Di sejarah Indonesia. Ke era Orde Terbaru, Pemimpin Negara Soeharto juga pernah melakukan Perundingan langsung Bersama Amerika Serikat.
Hasilnya, berbagai kesepakatan ekonomi terjadi, termasuk Yang Terkait Bersama utang dan pemberian konsesi tambang kepada perusahaan-perusahaan AS sebagai Pada Bersama kompromi politik dan dagang antarnegara.
Tambang & Utang
Terpilihnya Jenderal Soeharto sebagai Pemimpin Negara Ke-2 RI Ke 1967 mengubah arah haluan ekonomi dan politik Indonesia. Bersama menutup diri Bersama Dukungan Asing menjadi terbuka Pada Penanaman Modal Asing.
Perubahan ini berlangsung Ke Di ketegangan Konflik Bersenjata Dingin (1945-1991), ketika AS Berusaha Merangsang Negeri-Negeri berkembang agar berpihak Ke blok kapitalis dan mendukung sistem ekonomi pasar bebas.
Untuk Memperoleh Dukungan ekonomi dan politik, Soeharto hendak menjalin hubungan erat Bersama AS dan berbagai lembaga dunia yang pendonor utamanya adalah Paman Sam, seperti IMF dan Lembaga Keuangan Internasional.
Akan Tetapi, ketika Indonesia hendak menjalin hubungan, mereka bergeming dan mengajukan syarat, yakni harus menyelesaikan utang masa lalu terlebih dahulu. Pembayaran utang tersebut sangat memberatkan.
Sebab, menurut paparan sejarawan M.C Rickfles Di Sejarah Indonesia Modern (1999), ekonomi Indonesia pun Lagi berat imbas warisan buruk Aturan rezim Sebelumnya.
Menurut sejarawan Anne Booth Di The Indonesian Economy in The Nineteenth and Twentieth Centuries, A History of Missed Opportunities (1998), IMF meminta Indonesia membayar utang sebesar US$ 55 juta sebagai syarat kembali menjadi anggota.
Pemerintah RI lantas bersedia membayar sebagian kecilnya, Di US$30 ribu Ke awal, dan sisanya secara bertahap Di setahun. Sesudah Perundingan, IMF menyetujui permintaan tersebut dan melakukan penjadwalan ulang utang Bersama kreditur lain.
Hasil akhirnya, Indonesia harus membayar semua utang Di waktu 30 tahun, serta Menyambut keringanan bunga utang yang dicicil Bersama 1970 hingga 1999.
Selain persoalan utang, Ke waktu bersamaan, Indonesia juga melakukan Perundingan soal tambang Freeport. Perlu diketahui, salah satu tonggak perubahan haluan ekonomi Ke bawah Soeharto adalah terbitnya Undang-undang Penanaman Modal Asing (Undang-Undang PMA) tahun 1967.
Undang-Undang tersebut memungkinkan perusahaan Asing beroperasi Ke Indonesia. Perusahaan pertama yang memanfaatkan aturan tersebut adalah Freeport asal AS. Ke 7 April 1967, pemerintah menandatangani Kesepakatan karya Bersama Freeport Pada 30 tahun Untuk mengeruk tambang Ke Papua.
“Freeport adalah perusahaan Asing pertama yang menandatangani Kesepakatan Bersama rezim Terbaru Ke Jakarta dan menjadi Aktor Atau Aktris ekonomi dan politik utama Ke Indonesia,” tulis Denise Leith Di Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia (2003).
Freeport sebenarnya sudah ingin menambang Dari 1950-an. Akan Tetapi, haluan politik Pemimpin Negara Soekarno tidak memungkinkan perusahaan itu berada Ke Tanah Air.
Seiring waktu, Soeharto ingin melakukan Perundingan kembali, salah satunya, meminta Indonesia kebagian saham Freeport.
Di Literatur Pelaku Berkisah (2005) yang disusun Thee Kian Wie, mantan Pembantu Pemimpin Negara Pertambangan Mohammad Sadli Mengungkapkan Kesepakatan generasi pertama Bersama Freeport terlalu menguntungkan pihak Asing.
Soeharto ingin Menyambut 8,9% saham. Akan Tetapi, Perundingan ini berjalan alot. Freeport ogah membagikan saham Sebab mengklaim belum untung, terlebih usai Jepang melakukan pembelian Bersama harga murah.
Agar Perundingan sukses, pemerintah Indonesia menekan Jepang Bersama pembatasan pasokan Energi. Ini bertujuan agar Jepang rela membayar mahal tambang Ke Freeport. Hasilnya, dua tahun Sesudah Itu, Freeport akhirnya menyetujui pemberian saham sebesar 8,5% serta royalti 1% kepada pemerintah Indonesia.
Next Article
Cerita RI Pernah Hampir Bangkrut Gegara Pemimpin Negara Salah Urus Negeri
Artikel ini disadur –> Cnbcindonesia Indonesia: Kisah Pemimpin Negara RI Nego Alot Bersama AS: Dulu Tambang & Utang