– Tak ada gunanya punya harta banyak, tapi Komunitas Ke Disekitar masih terjerat Kemiskinan Global dan kesengsaraan. Atas dasar ini, salah satu tuan tanah dan orang terkaya Indonesia tahun 1900-an, yakni Karel Albert Rudolf Bosscha, memilih Menyediakan uang pribadi Sebagai kepentingan warga.
Bagaimana kisahnya?
Sebagai catatan, Bosscha adalah pemilik perkebunan teh Ke kawasan Priangan, Garut dan Sukabumi. Sejarawan Rudolf Mrazek Di Engineers of Happy Land (2006) menyebut, Ke 1900-an, dia dijuluki sebagai raja teh dan salah satu orang terkaya Ke Indonesia (dulu Hindia Belanda) imbas Prestasi industri tehnya.
Diketahui, seluruh teh Di perusahaan Bosscha sukses dijual tinggi dan menembus pasar Eropa dan China. Alhasil, dia pun cuan banyak. Meski begitu, kekayaan tak membuat Bosscha terlena. Dia menjadikan kekayaannya sebagai katalisator pengentasan Kemiskinan Global.
Pria kelahiran 1865 itu tercatat Di sejarah sebagai sosok sangat humanis. Jika Anda membayangkan orang Belanda yang bengis dan suka menindas pribumi, maka itu tak terjadi Ke diri Bosscha. Dia Di Sebab Itu sosok langka Sebab bersikap sangat peduli kepada pribumi.
Sikap baik hati muncul Sebab Bosscha merasa pembangunan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda kurang dirasakan warga. Kala itu, tahun 1900-an, pemerintah memberlakukan Politik Etis atau politik balas budi Untuk Meningkatkan Kesejajaran pribumi.
Politik Etis terjadi Ke 3 sektor, yakni Belajar, transmigrasi, dan irigasi. Hanya saja, semuanya tak berjalan baik. Atas dasar ini, Bosscha secara sukarela Menyediakan uang Sebagai peningkatan Kesejajaran.
Keputusan membagikan harta berjalan lancar sebab dia hidup seorang diri. Bosscha memang tak pernah menikah dan Memiliki anak sepanjang hidupnya. Di Sebab Itu, tak ada hambatan berarti.
Her Suganda Di Kisah Para Preanger Planters (2014) menjelaskan, dia Awalnya aktif mendirikan sekolah. Tercatat dia membangun Sekolah Dasar Vervoolgschool Sebagai anak petani Ke perkebunan. Ke Di Itu, dia juga membantu pembangunan universitas Ke Bandung, yakni kampus Technische Hoogeschool te Bandoeng yang kini menjadi ITB.
Hal serupa juga dilakukannya Ke dunia Kesejajaran. Tak ingin warga pribumi kesakitan, dia Menyediakan tanah gratis seluas 25.000 m2 dan uang 200 ribu gulden guna pembangunan proyek Lembaga Kanker Ke Bandung. Tak hanya itu, dia juga turut membangun lembaga buta dan tuli.
Kebaikan ini juga termasuk kesediaan membangun jalan, Tempattinggal, dan infrastruktur lain yang diperuntukkan Untuk pribumi. Selain Kesejajaran, Belajar, dan infrastruktur, dia juga turut serta Di Pembaruan ilmu pengetahuan, khususnya Ke dunia astronomi.
Disekitar 1920-an, dia rela Mengeluarkan biaya tak sedikit Sebagai mendirikan observatorium Ke Gunung Tangkuban Perahu. Dia membeli teropong besar super mahal Di Eropa lalu membawanya turun-naik bukit Untuk observasi bintang.
Berkat kebaikan hati dan sumbangsih besarnya, pemerintah Bandung menganugerahinya warga utama. Sayang, Setelahnya penganugerahan tersebut, Bosscha terkena serangan jantung dan meninggal mendadak. Pada wafat Ke 26 November 1928, banyak orang menangisi kepergian dan mengantarkan jasad Bosscha hingga Ke liang lahat.
Bosscha tak pernah menikah dan punya anak, Agar seluruh asetnya diambilalih pemerintah kolonial. Tetapi, ketika kemerdekaan tahun 1945 aset peninggalan tersebut dikendalikan pemerintah Indonesia.
Artikel ini disadur –> Cnbcindonesia Indonesia: Orang Terkaya RI Tak Ingin Tajir Sendirian, Bagikan Harta Buat Warga