Kesederhanaan menjadi sikap yang kian langka Ke kalangan pejabat tinggi pemerintahan Pada ini. Akan Tetapi, pernah ada satu sosok yang mampu menjalaninya Didalam tulus, yakni Baharuddin Lopa.
Lopa dikenal sebagai Jaksa Agung Ke-17 Republik Indonesia yang hidupnya jauh Didalam kemewahan. Sikapnya yang sederhana Malahan membuat atasannya, Pejabat Tingginegara Kehakiman Ali Said (1981-1984), menyebut Lopa tergolong miskin, sekalipun kerjanya sangat memuaskan.
“Tapi dia sendiri tetap miskin. Kendaraan Pribadi pribadi belum dimiliki ketika tugas Ke Jakarta. Entah belakangan ini,” ungkap Ali, dikutip Kompas (17 April 1983).
Pernyataan Ali tersebut memang benar adanya. Sebelum menjadi jaksa Ke tahun 1958, Lopa tidak Memperoleh Kendaraan Pribadi pribadi Di waktu lama dan hanya mengandalkan kendaraan dinas. Akan Tetapi, baginya, Kendaraan Pribadi dinas hanya Untuk urusan kerja. Dia berpegang teguh Ke prinsip bahwa haram hukumnya menggunakan Kendaraan Pribadi dinas Untuk kepentingan pribadi, apalagi Ke luar hari kerja. Malahan, dia melarang istrinya memakai Kendaraan Bermotor Roda Dua dinas Untuk pergi Ke pasar.
Lantaran prinsip itu, Lopa kerap naik-turun angkot Untuk beraktivitas Ke akhir pekan atau hari libur. Padahal, dia bisa saja menggunakan Kendaraan Pribadi dinas yang terparkir Ke kediamannya. Akan Tetapi, prinsipnya tetap tak tergoyahkan.
Lopa Mutakhir Memperoleh Kendaraan Pribadi pribadi Ke akhir 1980-an. Diceritakan Di Bacaan 1001 Kisah Baharuddin Lopa (2001), Pada itu, dia membeli Kendaraan Pribadi Melewati Jusuf Kalla yang dikenal sebagai pebisnis Kendaraan Pribadi Ke Sulawesi Selatan. Kalla menawarkan beberapa Kendaraan Pribadi Didalam harga mulai Didalam Rp100 juta hingga Rp60 juta, tetapi semua Dikatakan terlalu mahal Didalam Lopa.
Kalla Sesudah Itu berniat Menyediakan harga miring, tetapi Lopa menolak Untuk diistimewakan. Akhirnya, dia membeli Kendaraan Pribadi Didalam harga Di Rp50 juta, dibayar Melewati uang muka dan dicicil setiap bulan.
Kesederhanaan itu juga tercermin Didalam tempat tinggalnya. Rumahnya Ke Makassar sangat sederhana, tanpa perabot mahal. Begitu pula rumahnya Ke Pondok Labu, Jakarta.
Sikap Kehidupan Sederhana itu sejalan Didalam keberaniannya Di memberantas Penyalahgunaan Jabatan. Di bertugas sebagai jaksa Ke Daerah, Lopa berhasil menyelamatkan uang Negeri Didalam berbagai Peristiwa Pidana Penyalahgunaan Jabatan. Kepiawaiannya itulah yang Sesudah Itu membawanya diangkat menjadi Jaksa Agung Ke Juni 2001.
Pengangkatan Lopa sebagai Jaksa Agung membawa secercah harapan Untuk pemberantasan Penyalahgunaan Jabatan Ke Indonesia. Menurut Suara Pembaruan (4 Juli 2001), Lopa langsung berkas penyelidikan Peristiwa Pidana Penyalahgunaan Jabatan besar yang melibatkan pengusaha dan pejabat tinggi Negeri. Dia bekerja tanpa kenal waktu, Didalam pagi hingga larut malam, meski banyak pihak yang tak senang Didalam langkahnya.
“Terlalu banyak orang yang ketakutan jika saya diangkat menjadi Jaksa Agung, Supaya logis jika orang ramai-ramai memotongi saya agar tidak menjadi Jaksa Agung,” ungkapnya Di Bacaan Kejahatan Penyalahgunaan Jabatan dan Penegakan Hukum (2001).
Sayangnya, masa tugas Lopa sangat singkat. Sebulan Sesudah dilantik, tepat Ke 2 Juli 2001, dia jatuh sakit Pada Berpartisipasi Di serah terima jabatan Duta Besar RI sekaligus menunaikan ibadah umrah. Dia mual, muntah, lalu tak sadarkan diri secara mendadak.
Keesokan harinya, 3 Juli 2001, Baharudin Lopa meninggal dunia. Meski sempat muncul berbagai spekulasi tentang penyebab kematiannya, para Ahli Kemakmuran menyebut Lopa meninggal akibat serangan jantung yang dipicu kelelahan kerja.
Next Article
Pejabat Tingginegara RI Pilih Hidup Miskin, Tak Penyalahgunaan Jabatan Meski Garap Proyek Raksasa
Artikel ini disadur –> Cnbcindonesia Indonesia: Tak Punya Kendaraan Pribadi dan Naik Angkot, Pejabat RI Ini Disebut Miskin











