– Kekayaan yang diperlihatkan terkadang berbeda Didalam kebiasaan hidup sehari-hari. Ada yang punya Aksesoris banyak, tapi kesehariannya hidup seperti orang tak punya uang.
Perkara Hukum Hukum seperti ini bukan fiksi semata, tapi benar terjadi Di Komunitas Palembang Disekitar 163 tahun lalu. Hal ini diungkap Dari penjelajah Eropa, Alfred Russel Wallace, ketika mendatangi Bumi Sriwijaya tahun 1861 dan 1862.
Setibanya Untuk Batavia usai menempuh perjalanan laut berjam-jam, Wallace melihat kebiasaan warga Palembang yang berbanding terbalik Didalam kekayaan yang dimiliki.
Kala itu, warga lebih memilih menyantap nasi kering yang dicampur garam dan cabai merah dua kali sehari sebagai asupan utama sepanjang tahun.
Awalnya, Wallace mengira kebiasaan tersebut tanda Kemiskinan Global akut. Sebab, kebiasaan itu berbanding lurus Didalam Kebugaran Ketahanan Pangan yang sangat memprihatinkan ketika dia tiba Di Sumatera.
“Saya menemukan kesulitan yang cukup besar Untuk Merasakan sesuatu Sebagai dimakan. Bukan musim sayur-sayuran. Unggas juga sangat langka. Buah-buahan juga berkurang,” tulis Wallace Untuk catatan perjalanannya The Malay Archipelago (1869).
Tetapi, perlahan terungkap kebiasaan itu bukan tanda Kemiskinan Global, melainkan hanya adat istiadat. Pasalnya, banyak Untuk mereka malah Memperoleh Aksesoris. Aksesoris tersebut Malahan dipakai Dari anak-anak dan perempuan.
“Istri dan anak-anak mereka dipakai Didalam gelang perak Untuk pergelangan tangan hingga siku. Mereka juga membawa lusinan koin perak yang dikalungkan Di leher atau digantung Di telinga mereka,” ungkap Wallace.
Dari Sebab Itu, tak Mungkin Saja mereka hidup miskin sebab punya banyak Aksesoris. Kesimpulan Wallace tersebut Sesudah Itu sejalan Didalam catatan penjelajah William Marsden Untuk History of Sumatra (1966). Dia menyoroti warga Sumatera Di Umumnya yang mudah memperoleh Minuman, seperti unggas, ikan, sayur-sayuran, hingga daging sapi.
Didalam temuan Marsden, maka mayoritas warga yang dilihat Wallace seharusnya mudah Menyambut Minuman bergizi. Tetapi, tak ada catatan Didalam Detail ihwal adat istiadat tersebut termasuk motif dan tujuannya.
Meski begitu, temuan Wallace mengindikasikan kemakmuran Komunitas Di Palembang. Hal ini bisa terjadi Lantaran Palembang dikenal sebagai salah satu pusat Perdagangan Antar Negara Untuk masa kerajaan kuno hingga penjajahan Belanda.
Fakta ini membuat banyak lapisan Komunitas mudah melakukan perdagangan. Biasanya mereka melakukan perdagangan Didalam menyusuri Sungai Musi Untuk hulu Di hilir. Produk dagangan yang dijual meliputi Barang Dagangan Perdagangan Keluar Negeri, seperti lada dan timah.
Kemudahan perdagangan ini juga sejalan Didalam hadirnya jaringan jalan raya dan kelak menyusul jaringan rel kereta api Di awal abad Di-20. Pesatnya perdagangan Di Palembang membuat sejarawan Anthony Reid Untuk Di Sejarah Sumatra: Di Indonesia dan Dunia (2011) memasukkan Palembang Di Untuk tiga kota terbesar Di Sumatera, selain Medan dan Bukittinggi.
Berawal Untuk kemudahan berdagang, ekonomi Komunitas juga Merasakan perubahan. Mereka Dari Sebab Itu mudah memperoleh perak dan emas, yang memang mudah ditambang Di kawasan Sumatera.
Artikel ini disadur –> Cnbcindonesia Indonesia: Warga RI Ini Kegemaran Makan Nasi Garam tapi Koleksi Banyak Aksesoris